A. Latar Belakang
Tindak
kekerasan di dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang
mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku
dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk
tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman
kekerasan). Pelaku dan korban tindak
kekerasan di dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh
strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Tindak
kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius,
akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum
karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat,
kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup
sangat pribadi dan terjaga privacynya
berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga, ketiga: tindak
kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan
kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga
terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan.
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis
terhadap tindak kekerasan yang dihadapi.
Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada
istri yang diperbuat oleh suami.
Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan
yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan.
Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana
menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan
terhadap istri. Rumah tangga, keluarga
merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi
wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.
Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah
tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap
ketidakpedulian terhadap berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga.
Dari latar belakang ini, penulis akan membahas lebih jauh
mengenai tindakan kekerasan pada istri dalam rumah tangga.
B . Rumusan Masalah
1.
Apa
saja bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga?
2.
Apa
saja faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan dalam rumah
tangga?
3.
Bagaimana
dampak tindak kekerasan tersebut terhadap kesehatan?
4.
Bagaimana
penegakan hokum pemerintah terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mampu memahami secara
menyeluruh tentang tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga.
2. Dapat mengidentifikasi bentuk tindakan kekerasan pada istri dalam rumah tangga.
3. Dapat menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan
dalam rumah tangga.
4.
Dapat menjelaskan dampak
tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan repro-duksinya.
II. PEMBAHASAN
A. Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan
kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk
mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis
terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk di dalamnya ancaman, pemaksaan maupun
secara sengaja mengekang kebebasan perempuan.
Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat
terjadi dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.
Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga
merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan
dan terjadi di balik pintu tertutup.
Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun
psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat.
Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga
terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang
mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan
perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol
perempuan.
Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga
terjadinya karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di
persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini
muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri
harus nurut kata suami, bila istri mendebat suami, dipukul. Kultur di
masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah
tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur.
Saat ini dengan berlakunya undang-undang anti kekerasan
dalam rumah tangga disetujui tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah
tangga bukan hanya urusan suami istri tetapi sudah menjadi urusan publik.
Keluarga dan masyarakat dapat ikut mencegah dan mengawasi bila terjadi
kekerasan dalam rumah tangga.
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga
dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam
golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut
(menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata,
dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka
lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan Psikologis
/ Emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional
adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga
diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai
sarana memaksakan kehendak.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan)
istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan Ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah
tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
C. Faktor-Faktor yang Mendorong Terjadi KDRT
Yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
adalah sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya
dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk
bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi
hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri
sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut
hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang
mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak
hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
D. Dampak KDRT terhadap Kesehatan Reproduksi.
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera
fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit
atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta
fungsi dan prosesnya.
Efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih
parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan
makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak
jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan
reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya meng-akibatkan
terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri
dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.
Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk
mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan
yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh
kesehatan reproduksi yang sehat.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ
reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir,
emosi dan ekonomi keluarga. Dampak
terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara
berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu
merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak
bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan
memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan
yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri
haid, terinfeksi penyakit menular.
Dampak terhadap
status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan /
pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan
bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri.
E. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Perjuangan
penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara
yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan melalui Undang-undang
No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah di artifikasi
oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No
23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
Perjuangan penghapusan KDRT
berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas
perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan Komisi Nasional
Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi
penyedia layanan korban kekerasan.
Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah
bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia,
terutama yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang merupakan gabungan LSM perempuan
se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga menjadi UU.
Kelompok mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki dimana laki-laki
dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga
mampu mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua,
faktor Diskriminasi dan pembatasan di bidang
ekonomi, dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk
bekerja mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami, dan
ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor beban pengasuhan anak
dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang
tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga
tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat
yaitu faktor wanita sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik
bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk
mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan
kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar
menjadi tertib, Kelima yaitu faktor
orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri
di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya. Faktor-faktor
tersebut diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya
sering ditunda atau ditutup. Alasan yang
lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami
melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi
yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan
di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan
yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup
hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks
bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti
homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya
kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai
dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini
akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga
kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah
kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran
masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.
Untuk persoalan ini, dibutuhkan penerapan hukum yang
menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Kekerasaan dalam
rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami,
pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada
istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa
diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan
menyeluruh.
Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab
dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat
(1) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan
advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih minim. Masih banyak masyarakat yang
belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan aparat penegak
hukum masih timbul berbagai persepsi.
Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang
tidak ditemukan dalam UU lain, seperti perlindungan sementara dan perintah
perlindungan, juga adanya tindak pidana berupa jenis kekerasan lain di luar
kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi aparat
penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi.
Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi
masyarakat luas, terutama bagi para pihak yang berpotensi melakukan KDRT,
sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang mungkin menjadi korban KDRT,
sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki nasibnya karena
telah mengetahui hak-haknya. UU PKDRT perlu direvisi pada bagian-bagian yang
rancu dan perlu penambahan jenis kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan
kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan
harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas
kesetaraan gender, antara lain dengan merevisi UU Perkawinan, agar peraturan
perundang-undangan bisa saling mendukung dan tidak saling bertentangan, supaya
UU PKDRT dapat dirasakan efektivitasnya.
Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari
penegakan hukum pada umumnya. Apabila negara tidak dapat menciptakan supremasi
hukum, perlindungan yang diatur dalam UU PKDRT hanya akan berupa law in book
(teori) belaka, sedangkan dalam law in action (praktik) akan sulit
terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus ditegakkan.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang
mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana.
Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis,
seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga.
2. Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu pembelaan atas kekuasaan
laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak,
wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.
3. Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat
mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan
bersalin, serta setelah melahirkan dan bayi yang dilahirkan.
B. SARAN
Dengan disahkannya Undang-Undang KDRT, pemerintah dan
masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak
berdiam diri bila ada kasus KDRT harus lebih ditingkatkan pengawasannya.
IV. LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar