Jumat, 25 November 2011

larutan penyangga


Komponen Larutan Penyangga
Secara umum, larutan penyangga digambarkan sebagai campuran yang terdiri dari:
  1. Asam lemah (HA) dan basa konjugasinya (ion A-), campuran ini menghasilkan larutan bersifat asam.
  2. Basa lemah (B) dan asam konjugasinya (BH+), campuran ini menghasilkan larutan bersifat basa.
    Komponen larutan penyangga terbagi menjadi:
1. Larutan penyangga yang bersifat asam
Larutan ini mempertahankan pH pada daerah asam (pH < 7). Untuk mendapatkan larutan ini dapat dibuat dari asam lemah dan garamnya yang merupakan basa konjugasi dari asamnya. Adapun cara lainnya yaitu mencampurkan suatu asam lemah dengan suatu basa kuat dimana asam lemahnya dicampurkan dalam jumlah berlebih. Campuran akan menghasilkan garam yang mengandung basa konjugasi dari asam lemah yang bersangkutan. Pada umumnya basa kuat yang digunakan seperti natriumNa), kalium, barium, kalsium, dan lain-lain.
2. Larutan penyangga yang bersifat basa
Larutan ini mempertahankan pH pada daerah basa (pH > 7). Untuk mendapatkan larutan ini dapat dibuat dari basa lemah dan garam, yang garamnya berasal dari asam kuat. Adapun cara lainnya yaitu dengan mencampurkan suatu basa lemah dengan suatu asam kuat dimana basa lemahnya dicampurkan berlebih.
Cara kerja larutan penyangga
Larutan penyangga mengandung komponen asam dan basa dengan asam dan basa konjugasinya, sehingga dapat mengikatbaik ion H+ maupun ion OH-. Sehingga penambahan sedikit asam kuat atau basa kuat tidak mengubah pH-nya secara signifikan. Berikut ini cara kerja larutan penyangga:
1. Larutan penyangga asam
Adapun cara kerjanya dapat dilihat pada larutan penyangga yang mengandung CH3COOH dan CH3COO- yang mengalami kesetimbangan. Dengan proses sebagai berikut:
Pada penambahan asam Penambahan asam (H+) akan menggeser kesetimbangan ke kiri. Dimana ion H+ yang ditambahkan akan bereaksi dengan ion CH3COO- membentuk molekul CH3COOH.
CH3COO-(aq) + H+(aq) → CH3COOH(aq)
Pada penambahan basa Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka ion OH- dari basa itu akan bereaksi dengan ion H+ membentuk air. Hal ini akan menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan sehingga konsentrasi ion H+ dapat dipertahankan. Jadi, penambahan basa menyebabkan berkurangnya komponen asam (CH3COOH), bukan ion H+. Basa yang ditambahkan tersebut bereaksi dengan asam CH3COOH membentuk ion CH3COO- dan air.
CH3COOH(aq) + OH-(aq) → CH3COO-(aq) + H2O(l)





2. Larutan penyangga basa
Adapun cara kerjanya dapat dilihat pada larutan penyangga yang mengandung NH3 dan NH4+ yang mengalami kesetimbangan. Dengan proses sebagai berikut:
Pada penambahan asam Jika ditambahkan suatu asam, maka ion H+ dari asam akan mengikat ion OH-. Hal tersebut menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan, sehingga konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Disamping itu penambahan ini menyebabkan berkurangnya komponen basa (NH3), bukannya ion OH-. Asam yang ditambahkan bereaksi dengan basa NH3 membentuk ion NH4+.
NH3 (aq) + H+(aq) → NH4+ (aq)
Pada penambahan basa Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka kesetimbangan bergeser ke kiri, sehingga konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Basa yang ditambahkan itu bereaksi dengan komponen asam (NH4+), membentuk komponen basa (NH3) dan air.
NH4+ (aq) + OH-(aq) → NH3 (aq) + H2O(l)
[sunting] Perhitungan pH Larutan Penyangga
1. Larutan penyangga asam
Dapat digunakan tetapan ionisasi dalam menentukan konsentrasi ion H+ dalam suatu larutan dengan rumus berikut:
[H+] = Ka x a/valxg
atau
pH = p Ka - log a/g
dengan, Ka = tetapan ionisasi asam lemah
              a  = jumlah mol asam lemah
              g  = jumlah mol basa konjugasi
2. Larutan penyangga basa
Dapat digunakan tetapan ionisasi dalam menentukan konsentrasi ion H+ dalam suatu larutan dengan rumus berikut:
[OH-] = Kb x b/valxg
atau
pH = p Kb - log b/g
dengan, Kb = tetapan ionisasi basa lemah
              b  = jumlah mol basa lemah
              g  = jumlah mol asam konjugasi

Fungsi Larutan Penyangga
Adanya larutan penyangga ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari seperti pada obat-obatan, fotografi, industri kulit dan zat warna. Selain aplikasi tersebut, terdapat fungsi penerapan konsep larutan penyangga ini dalam tubuh manusia seperti pada cairan tubuh. Cairan tubuh ini bisa dalam cairan intrasel maupun cairan ekstrasel. Dimana sistem penyangga utama dalam cairan intraselnya seperti H2PO4- dan HPO42- yang dapat bereaksi dengan suatu asam dan basa. Adapun sistem penyangga tersebut, dapat menjaga pH darah yang hampir konstan yaitu sekitar 7,4. Selain itu penerapan larutan penyangga ini dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari seperti pada obat tetes mata. Pada obat tetes mata mempunyai pH yang sama dengan cairan tubuh kita, agar tidak menimbulkan efek samping.
Dalam ilmu kimia, garam adalah senyawa ionik yang terdiri dari ion positif (kation) dan ion negatif (anion), sehingga membentuk senyawa netral (tanpa bermuatan). Garam terbentuk dari hasil reaksi asam dan basa. Komponen kation dan anion ini dapat berupa senyawa anorganik seperti klorida (Cl), dan bisa juga berupa senyawa organik seperti asetat (CH3COO) dan ion monoatomik seperti fluorida (F), serta ion poliatomik seperti sulfat (SO42−). Natrium klorida (NaCl), bahan utama garam dapur adalah suatu garam.
Ada banyak macam-macam garam. Garam yang terhidrolisa dan membentuk ion hidroksida ketika dilarutkan dalam air maka dinamakan garam basa. Garam yang terhidrolisa dan membentuk ion hidronium di air disebut sebagai garam asam. Garam netral adalah garam yang bukan garam asam maupun garam basa. Larutan Zwitterion mempunyai sebuah anionik dan kationik di tengah di molekul yang sama, tapi tidak disebut sebagai garam. Contohnya adalah asam amino, metabolit, peptida, dan protein.
Larutan garam dalam air (Misalnya natrium klorida dalam air) merupakan larutan elektrolit, yaitu larutan yang dapat menghantarkan arus listrik. Cairan dalam tubuh makhluk hidup mengandung larutan garam, misalnya sitoplasma dan darah. Tapi, karena cairan dalam tubuh ini juga mengandung banyak ion-ion lainnya, maka tidak akan membentuk garam setelah airnya diuapkan.

Ciri-ciri

Warna

Kalium dikromat, garam berwarna jingga yang digunakan sebagai pigmen
Mangan dioksida, garam yang berwarna hitam
Garam dapat berwarna cerah dan transparan (contohnya natrium klorida), Buram, dan kadang juga berwarna metalik dan berkilau (Besi disulfida).
Garam dapat berwarna macam-macam, seperti misalnya di bawah ini:

Rasa


Di semua garam, ada 5 rasa berbeda, yaitu: asin (natrium klorida), manis (timbal (II) asetat, beracun kalau sampai tertelan), asam (kalium bitartrat), pahit (magnesium sulfat), dan gurih (monosodium glutamat).

Bau

Garam yang berasal dari asam kuat dan basa kuat ("garam kuat") biasanya stabil dan tidak berbau, sedangkan garam yang terbentuk dari asam lemah maupun basa lemah ("garam lemah") lebih berbau karena disebabkan oleh asam konjugasinya (contohnya asetat (asam asetat) pada (cuka) dan sianida seperti hidrogen sianida) atau bisa juga karena basa konjugasinya (contohnya garam amonium seperti amonia). Dekomposisi parsial ini bisa dipercepat dengan penambahan air, karena hidrolisis merupakan setengah bagian lain dari reaksi reversibel yang membentuk garam lemah.

Ion

Nama-nama garam diawali dengan nama ion kation (contohnya, natrium atau amonium) diikuti dengan nama ion anion (contohnya, klorida atau asetat).
Ion yang termasuk kation diantaranya:
Besi (II) oksida (FeO)
Besi (III) oksida (Fe2O3)                                                                                                                                                                                                                  
Ion yang termasuk anion termasuk:

Pembentukan garam

Timbal(II) sulfat (PbSO4)
Reaksi kimia untuk menghasilkan garam antara lain:
  1. Reaksi antara asam dan basa, misalnya asam klorida (HCl) + amoniak (NH3) → amonium klorida (NH4Cl).
  2. Reaksi antara logam dan asam kuat encer, misalnya Mg + 2 HCl → MgCl2 + H2. Keterangan: logam mulia umumnya tidak bereaksi dengan cara ini.
  3. Reaksi antara logam dan nonlogam, misalnya, Ca + Cl2CaCl2
  4. Reaksi antara basa dan oksida asam, misalnya, 2 NaOH + Cl2O → 2 NaClO + H2O
  5. Reaksi antara asam dengan oksida basa, misalnya, 2 HNO3 + Na2O → 2 NaNO3 + H2O
  6. Garam juga dapat dibentuk apabila 2 garam yang berbeda dicampur. Ion-ion mereka akan membentuk campuran baru, misalnya:
Pb(NO3)2(aq) + Na2SO4(aq) → PbSO4(s) + 2 NaNO3(aq)

Kamis, 24 November 2011

mekanisme kontraksi otot


Mekanisme Kontraksi Otot
a. Filamen-filamen tebal dan tipis yang saling bergeser saat proses kontraksi
Menurut fakta, kita telah mengetahui bahwa panjang otot yang terkontraksi akan lebih pendek daripada panjang awalnya saat otot sedang rileks. Pemendekan ini rata -rata sekitar sepertiga panjang awal. Melalui mikrograf elektron, pemendekan ini dapat dilihat sebagai konsekuensi dari pemendekan sarkomer. Sebenarnya, pada saat pemendekan berlangsung, panjang filamen tebal dan tipis tetap dan tak berubah (dengan melihat tetapnya lebar lurik A dan jarak disk Z sampai ujung daerah H tetangga) namun lurik I dan daerah H mengalami reduksi yang sama besarnya. Berdasar pengamatan ini, Hugh Huxley, Jean Hanson, Andrew Huxley dan R.Niedergerke pada tahun 1954 menyarankan model pergeseran filamen (=filament sliding). Model ini mengatakan bahwa gaya kontraksi otot itu dihasilkan oleh suatu proses yang membuat beberapa set filamen tebal dan tipis dapat bergeser antar sesamanya.
b. Aktin merangsang Aktivitas ATPase Miosin
Model pergeseran filamen tadi hanya menjelaskan mekanika kontraksinya dan bukan asal-usul gaya kontraktil. Pada tahun 1940, Szent-Gyorgi kembali menunjukkan mekanisme kontraksi. Pencampuran larutan aktin dan miosin untuk membentuk kom-pleks bernama Aktomiosin ternyata disertai oleh peningkatan kekentalan larutan yang cukup besar. Kekentalan ini dapat dikurangi dengan menambahkan ATP ke dalam larutan aktomiosin. Maka dari itu, ATP mengurangi daya tarik atau afinitas miosin terhadap aktin. Selanjutnya, untuk dapat mendapatkan penjelasan lebih tentang peranan ATP dalam proses kontraksi itu, kita memerlukan studi kinetika kimia. Daya kerja ATPase miosin yang terisolasi ialah sebesar 0.05 per detiknya. Daya kerja sebesar itu ternyata jauh lebih kecil dari daya kerja ATPase miosin yang berada dalam otot yang berkontraksi. Bagaimanapun juga, secara paradoks, adanya aktin (dalam otot) meningkatkan laju hidrolisis ATP miosin menjadi sekitar 10 per detiknya. Karena aktin menyebabkan peningkatan atau peng-akti-vasian miosin inilah, muncullah sebutan aktin. Selanjutnya, Edwin Taylor mengemukakan sebuah model hidrolisis ATP yang dimediasi / ditengahi oleh aktomiosin. Model ini dapat dilihat pada skema gambar 8.
Pada tahap pertama, ATP terikat pada bagian miosin dari aktomiosin dan menghasilkan disosiasi aktin dan miosin. Miosin yang merupakan produk proses ini memiliki ikatan dengan ATP. Selanjutnya, pada tahap kedua, ATP yang terikat dengan miosin tadi terhidrolisis dengan cepat membentuk kompleks miosin-ADP-Pi. Kompleks tersebut yang kemudian berikatan dengan Aktin pada tahap ketiga. Pada tahap keempat yang merupakan tahap untuk relaksasi konformasional, kompleks aktin-miosin-ADP-Pi tadi secara tahap demi tahap melepaskan ikatan dengan Pi dan ADP sehingga kompleks yang tersisa hanyalah kompleks Aktin-Miosin yang siap untuk siklus hidrolisis ATP selanjutnya. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa proses terkait dan terlepasnya aktin yang diatur oleh ATP tersebut menghasilkan gaya vektorial untuk kontraksi otot.


Rayment, Holden, dan Ronald Milligan telah memformulasikan suatu model yang dinamakan kompleks rigor terhadap kepala S1 miosin dan Faktin. Mereka mengamati kompleks tersebut melalui mikroskopi elektron. Daerah yang mirip bola pada S1 itu berikatan secara tangensial pada filamen aktin pada sudut 45o terhadap sumbu filamen. Sementara itu, ekor S1 mengarah sejajar sumbu filamen. Relasi kepala S1 miosin itu nampaknya berinteraksi dengan aktin melalui pasangan ion yang melibatkan beberapa residu Lisin dari miosin dan beberapa residu asam Aspartik dan asam Glutamik dari aktin.
d. Kepala-kepala Miosin “berjalan” sepanjang filamen-filamen aktin
Hidrolisis ATP dapat dikaitkan dengan model pergeseran-filamen. Pada mulanya, kita mengasumsikan jika cross-bridges miosin memiliki letak yang konstan tanpa berpindah-pindah, maka model ini tak dapat dibenarkan. Sebaliknya, cross bridges itu harus berulangkali terputus dan terkait kembali pada posisi lain namun masih di daerah sepanjang filamen dengan arah menuju disk Z. Melalui pengamatan dengan sinar X terhadap struktur filamen dan kondisinya saat proses hidrolisis terjadi, Rayment, Holden, dan Milligan mengeluarkan postulat bahwa tertutupnya celah aktin akibat rangsangan (berupa ejeksi ADP) itu berperan besar untuk sebuah perubahan konformasional (yang menghasilkan hentakan daya miosin) dalam siklus kontraksi otot. Postulat ini selanjutnya mengarah pada model “perahu dayung” untuk siklus kontraktil yang telah banyak diterima berbagai pihak. Gambar 9 menjelaskan tentang tahaptahap siklus tersebut.
Pada mulanya, ATP muncul dan mengikatkan diri pada kepala miosin S1 sehingga celah aktin terbuka. Sebagai akibatnya, kepala S1melepaskan ikatannya pada aktin. Pada tahap kedua, celah aktin akan menutup kembali bersamaan dengan proses hidrolisis ATP yang menyebabkan tegaknya posisi kepala S1. Posisi tegak itu merupakan keadaan molekul dengan energi tinggi (jelas-jelas memerlukan energi). Pada tahap ketiga, kepala S1 mengikatkan diri dengan lemah pada suatu monomer aktin yang posisinya lebih dekat dengan disk Z dibandingkan dengan monomer aktin sebelumnya. Pada tahap keempat, Kepala S1 melepaskan Pi yang mengakibatkan tertutupnya celah aktin sehingga afinitas kepala S1 terhadap aktin membesar. Keadaan itu disebut keadaan transien. Selanjutnya, pada tahap kelima, hentakan-daya terjadi dan suatu geseran konformasional yang turut menarik ekor kepala S1 tadi terjadi sepanjang 60 Angstrom menuju disk Z. Lalu, pada tahap akhir, ADP dilepaskan oleh kepala S1 dan siklus berlangsung lengkap.

KONTRAKSI OTOT

  • Perubahan bentuk dalam rangka mekanisme kontraksi otot sekelet telah lama diselidiki baik dalam keadaan hidup maupun pada yang telah dimatikan.
  • Dari kedua pengamatan tersebut ditarik kesimpulan bahwa pada waktu kontraksi berlangsung otot memendek dan membesar.
  • Bagaimana proses berlangsungnya pemendekan dapat dijelaskan dengan meneliti struktur serta susunan miofilamen, sebagai hasil penelitian dengan menggunakan mikroskop elektron.
  • Satuan myofibril yang terkecil disebut sarkomer, yang pada kontraksi sarkomerpun ikut memendek dan memanjang pada waktu relaksasi.
  • Perubahan ini dirumuskan dengan istilah “sliding-filaments mechanism of contraction”
  • “sliding-filaments mechanism of contraction”yaitu: pada permulaan kontraksi cakram I ( Isotrop zona ) mulai menyempit yang selanjutnya lenyap bila serabut otot tersebut berkontraksi kira-kira 50%.
  • Daerah H dalam cakram A ( Anisotrop zona) juga ikut lenyap
  • Sebaliknya panjang cakram A praktis tidak mengalami perubahan baik pada waktu kontraksi maupun relaksasi.
  • Hal ini disebabkan karena cakram A hanya memendek sedikit sekali bila sarkomer berkontraksi.
  • Penebalan cakram Z disebabkan berkumpulnya bahan pekat yang kuat mengambil zat warna, yang selanjutnya dikenal sebagai “contraction band”.
  • Pendapat lain mengatakan bahwa cantraction band disebabkan oleh crumpling and folding ujung-ujung filament myosin pada cakram Z.
  • Hipotesa lain mengungkapkan bahwa kontraksi otot skelet terjadi karena folding and coiling filament aktin, dan bukan secara sliding.
  • Hal ini didasarkan dengan daerah H yang tetap tampak jelas meskipun otot berkontraksi.
  • Kontraksi otot diprakarsai dengan pelepasan ion kalsium dari sarkoplasmik reticulum.
  • Selanjutnya ion kalsium tersebut merangasang aktivitas adenosin trifosfat (ATP), yang kemudian terjadi hidrolisa molekul ATP menjadi ADP dan pelepasan energi.
  • Energi inilah yang dipakai untuk kontraksi.
  • Ion kalsium yang hanya bekerja sebagai katalisator selanjutnya ditangkap kembali oleh sarkoplasmik reticulum.
Dasar Molekul Kontraksi Otot
  • Filamen-filamen aktin terdiri dari suatu protein (BM= 43.000) yang berbentuk bola (globular) dan disebut aktin G.
  • Molekul-molekul aktin G ini tersusun seperti untaian mutiara, bersama-sama membentuk suatu filament aktin F (serat), yang membentuk double helix dengan suatu puntiran tiap 36 nm.
  • Alur pilinan ganda ini merupakan struktur dasar dari filamen-filamen aktin.
  • Protein-protein pengatur tertentu berikatan pada filament-filamen aktin.
  • Protein-protein tersebut adalah tropomiosin (bergelung melingkar satu sama lain), merupakan molekul protein dengan panjang 40 nm, terletak dalam alur yang terbentuk antara kedua untaian filamen aktin F.
  • Protein lainnya adalah troponin yang terletap pada kedua ujung tropomiosin. Ada 3 sub unit troponi: troponin I, troponin T, dan troponin C.
  • Filamen-filamen myosin, terdiri atas protein myosin (BM= 460.000), dan panjang molekulnya 150 nm.
  • Dengan menggunakan enzim tripsin molekul-molekul myosin dapat diuraikan dalam 2 subunit: meromiosin ringan (LMM) yang berbentuk batang dengan panjang 85 nm, dan meromiosin berat (HMM).
  • Meromiosin berat terdiri atas bagian yang berbentuk batang yang membentang terus ke dalam bagian LMM, dan struktur globular pada bagian ujungnya yaitu kepala myosin.
  • Molekul myosin lentur karena kedua sub unit dapat bergerak antara satu dan lainnya.
  • Filament-filamen myosin terdiri atas kumpulan padat molekul-molekul myosin dengan bagian yang berbentuk gagang terbentang sejajar dengan sumbu panjang filament.
  • Kepala myosin terletak pada ujung dari molekul ynag bersebrangan dengan garis M dan dengan memakai mikroskop elektron terlihat membentuk gambaran seperti jembatan.
  • Polarisasi dari filament-filamen myosin dengan kepala-kepala menjauhi garis M diyakini sebagai alasan mengapa proyeksi atau jembatan-jembatan melintang tak terdapat pada bagian tengah pita H, sehingga terbentuk pita H semu (“daerah kosong” dari Huxley)
  • Kepala-kepala myosin tersusun dalam suatu spiral sepanjang filament myosin dengan jarak 42 nm tiap putaran spiral.
  • Hal ini menghasilkan pembentukan 6 baris kepala myosin pada permukaan filament myosin.
Kejadian-kejadian molekuler selama kontraksi
  • Fragmen-fragmen meromiosin berat dapat berikatan dengan salah satu ujungnya pada tempat tertentu pada filament aktin yang terdapat setiap 36 nm.
  • Hal ini adalah sama betul dengan preodisitas aktin, dan sekarang diyakini bahwa setiap kepala myosin selama kontraksi arahnya “miring” berkontak dengan filament aktin terdekat.
  • Selama kontraksi, filament aktin bergeser lebih jauh dari pada jarak antara 2 kepala myosin yang berturutan.
  • Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut : setelah terikat pada suatu tempat perlekatan pada filament aktin, setiap kepala myosin “mengangguk” ke arah garis M, sehingga filament aktin tertarik pada jarak tertentu ke arah garis M.
  • Segera sesudah itu, kepala myosin dilepaskan dari tempat perlekatan dan kembali ke posisi semula tegak lurus tehadap fragmen meromiosin yang berbentuk batang.
  • Pada posisi ini kepala myosin berhubungan dengan tempat perlekatan berikutnya yang terletak sepanjang filament aktin, tidak jauh dari tempat tersebut, setelah itu kepala myosin kembali mengangguk ke arah garis M dan seterusnya.
  • Dengan demikian filament aktin tertarik selangkah demi selangkah ke arah garis M. Anggukan-anggukan kepala myosin disebabkan oleh suatu perubahan kekuatan pengikatan antara kepala dan bagian batang molekul meromiosin akibat pengikatan pada filament aktin.
  • ATPase yang terdapat pada kepala myosin akan memecah ATP sehingga tersedia energi yang digunakan untuk kontraksi.
  • Sebelum kontraksi otot, suatu potensial aksi merambat sepanjang sarkolema dan dari sini diteruskan ke bagian dalam serat melalui tubulus T .
  • Potensial aksi dari tubulus-tubulus T menyebabkan perubahan pada potensial membran dalam sisterna terminal reticulum sarkoplasma dan ini menyebabkan pelepasan pada ion-ion Ca dari reticulum ke dalam sarkoplasma seklilingnya (dalam keadaan istirahat sebagian besar Ca dalam serat terpusat pada sisterna terminal reticulum sarkoplasma).
  • Ion-ion Ca ini berikatan pada troponin (troponin C) yang mempunyai afinitas sangat kuat terhadap ion-ion Ca ini. Selama keadaan istirahat, kompleks troponin (toponin I)-tropomiosin menghambat tempat perlekatan pada filament aktin untuk kepala-kepala myosin, mungkin secara fisik menutupi kepala-kepala myosin tersebut.
  • Melalui pengikatan ion-ion Ca pada molekul troponin, molekul ini diperkirakan berubah bentuk. Dengan demikian hambatan tempat perlekatan pada filament aktin oleh kompleks troponin-tropomiosin ditiadakan.
  • Kapala-kepala myosin kemudian dengan segera secara fisik berhubungan dengan tempat-tempat perlekatan aktin dimana mencetuskan pergeseran filament-filamen.
  • Kontraksi ini berlangsung terus selama ion-ion Ca dalam sarkoplasma konsentrasinya masih cukup tinggi.
  • Akan tetapi dengan memakai pompa Ca aktif di dekat membrane reticulum sarkoplasma ion-ion Ca terus menerus dan secara aktif dipompakan ke dalam sisterna longitudinal reticulum berlangsung kira-kira 20 mili detik, kemudian konsentrasi Ca dalam sarkoplasma menurun sampai tingkat paling rendah (kurang dari 10 M) yang terdapat selama keadaan istirahat.
  • Dengan demikian pengikatan ion-ion Ca pada troponin terhenti, dan kompleks troponin-tropomiosin kembali menghambat tempat-tempat perlekatan pada filament aktin,
  • jadi serat ini dipertahankan dalam keadaan istirahat.
  • Kebutuhan energi untuk transfort aktif ion-ion Ca ke dalam reticulum sarkoplasma tersedia dari pemecahan ATP, dan karena itu kontraksi dan relaksasi keduanya membutuhkan ATP.
  • Rangkaian perangsangan/ kontraksi melalui system tubulus T menerangkan mengapa semua myofibril pada serat otot diaktivasi secara serentak dan hampir bersamaan dengan merambatnya potensial aksi pada sarkolema.
Hubungan neuromuscular
  • Daerah perlekatan antara ujung suatu serat saraf motorik dengan satu serat otot kerangka disebut lempeng akhir motorik (motor end plate).
  • Dengan memakai impregnasi garam-garam logam, dapat diperlihatkan pada sajian mikroskop cahaya bahwa ujung satu serat saraf motorik bercabang-cabang menjadi sejumlah cabang halus yang menuju ke tiap serat otot.
  • Setiap cabang membentuk suatu penebalan seperti lempengan kecil yaitu lempeng akhir motoris ini juga dapat terlihat dengan mikroskop cahaya (seperti juga dengan mikroskop elektron) memakai reaksi histokimia untuk menentukan adanya enzim asetilkolinesterase, yang terletak di daerah ini.
  • Terdapat suatu cekungan yang di sebut celah sinaptik primer, yang di dalamnya terdapat ujung akson. Di bawah setiap celah sinaptik primer, tampak suatu jajaran cekungan ke dalam serat otot, yang disebut celah sinaptik sekunder.
  • Dengan memakai ME, sel-sel Schwann tampak pada permukaan ujung akson.
  • Akan tetapi, sel-sel Schwann ini tak ada pada celah sinaptik dimana aksolema (plasmalema akson) dan sarkolema berbatasan satu sama lainnya (meskipun melalui suatu lapisan antara dari glikoprotein).
  • Celah sinaptik sekunder membentuk invaginasi sarkolema dari celah sinaptik primer. Dalam aksoplasama tampak sejumlah vesikel dengan diameter 50nm.
  • Vesikel-vesikel ini sesuai dengan vesikel sinaptik pada sinaps-sinaps biasa.
  • Sarkoplasma mengandung banyak mitokondria dan nucleus tetapi yang lainnya tidak khas.
  • Lempeng akhir motoris dapat dianggap sebagai suatu modifikasi sinaps.
  • Vesikel sinaptik mengandung asetilkolin yang berfungsi sebagai substansi transmitter selama penghantaran rangsang saraf dari akson ke sarkolema.
  • Suatu potensial aksi yang mencapai lempeng akhir menyebabkan pelepasan asetilkolin dari vesikel ke celah sinaps.
  • Setelah asetilkolin berdifusi dalam celah sinaps, molekul asetilkolin terikat pada molekul reseptor pada membrane post synaptic (sarkolema), yang menyebabkan pembentukan potensial lempeng akhir dan prambatan selanjutnya dari suatu potensial aksi sepanjang sarkolemma.
  • Asetikolin dihidrolisa dalam beberapa mdet. oleh asetilkolinesterase yang terletak di membrane post-sinaptik.
  • Serat-serat otot dan tendon keduanya mengandung bahan akhir sensoris yang kompleks yang disebut gelendong otot (muscle spindle) dan tendon organ.
  • Keduanya dijabarkan pada bagian badan-badan akhir sensoris.
APLIKASI

Penegangan dan perubahan yang terjadi selama penegangan otot
  • Penegangan otot atau kontraksi terjadi apabila otot menerima rangsangan.
  • Dikenal dua macam penegangan otot yaitu
  1. isotonik
  2. isometrik.
  • Kontraksi isotonik adalah penegangan otot yang mengakibatkan otot mengalami pemendekan, contohnya adalah orang mengangkat beban yang tidak terlalu berat, sehingga beban terangkat.
  • Kontraksi isometrik adalah timbulnya penegangan otot tanpa mengalami pemendekan, contohnya adalah bila orang mengangkat beban yang terlalu berat, sehingga beban sama sekali tidak terangkat.
  • Pada umumnya kontraksi isometrik digunakan untuk mengetahui panas yang timbul di dalam otot
  • Hukum Starling menyatakan bahwa kuat kontraksi otot berbanding lurus dengan panjang awal (initial length) otot tersebut.
  • Ini berarti otot diberi beban, karena sifat dapat memanjang yang dimiliki otot, maka otot akan sedikit memanjang sehingga kalau otot berkontraksi, kuat kontraksinya akan lebih besar.
  • Hukum Starling jangan diartikan bahwa otot yang panjang akan berkontraksi lebih kuat daripada otot lain yang lebih pendek.
  • Otot rangka dapat berkontraksi menurut kehendak atau kemauan kita.
  • Tanggapan otot terhadap kemauan kita dilaksanakan dengan perantaraan sistem saraf pusat dan saraf motorik yang mempersarafi otot itu.
  • Setiap ada kerusakan pada sistem saraf pusat atau pada saraf motorik yang menyebabkan terganggunya perambatan impuls dari korteks otak ke otot, mengakibatkan pula otot tidak dapat mengadakan tanggapan terhadap kemauan kita.
  • Hal ini disebut paralisis
  • Bila otot melakukan kerja berat secara terus-menerus, otot akan membesar.
  • Membesarnya otot ini disebut hipertrofi.
  • Otot yang mengalami hipertrofi, diameter serabut ototnya meningkat dan jumlah zat yang terdapat di dalam otot juga bertambah.
  • Sebaliknya, otot yang tidak digunakan dapat menjadi kecil, dan hal ini disebut atropi.
  • Hiperplasia adalah membesarnya otot yang disebabkan karena membesarnya serabut otot
  • Bila otot rangka menegang, terjadilah beberapa perubahan yaitu perubahan bentuk, perubahan kimia, perubahan panas dan perubahan elektrik.
  • Selama masa kontraksi, otot menjadi pendek dan gemuk, tetapi tidak mengalami perubahan volume.
  • Studi mengenai kontraksi otot menunjukkan bahwa kontraksi otot merupakan hasil perubahan bentuk molekul protein.
  • Menurut Szent-Gyorgi, protein utama yang terlibat dalam kontraksi adalah aktin dan miosin yang dapat berkombinasi menjadi aktomiosin.
  • Kontraksi terjadi karena pemendekan aktin dengan jalan menggeser sambil berputar
  • Pada perubahan kimia, energi yang digunakan oleh otot selama kontraksi berasal dari perubahan kimia yang terjadi di dalam otot iu sendiri.
  • Otot dalam keadaan istirahat mengandung zat seperti air 75%, protein 20%, glikogen 1%, fosfokreatin 0,3%, asam laktat 0,5%, dan heksosefosfat 0,05%.
  • Analisis kimia menunjukkan bahwa setelah kontraksi berakhir, jumlah fosfat anorganik dan asam laktat meningkat, sedangkan glikogen dan asam fosfat menurun. Oksigen (O2) banyak digunakan, sedangkan karbondioksida (CO2) dan air (H2O) banyak dihasilkan.
  • Energi yang digunakan untuk kontraksi otot berasal dari proses sebagai berikut :

  1. Energi (E) yang dilepas dapat segera digunakan untuk kontraksi otot E.
  2. Energi (E) yang dilepas dari reaksi ini digunakan untuk sintesis kembali ATP (adenosin trifosfat).
  3. Energi (E) yang dilepas digunakan untuk sintesis kembali fosfokreatin.
  4. Energi (E) yang dilepas digunakan untuk mengubah 4/5 asam laktat menjadi glikogen

Hutang Oksigen
  • Bila aktivitas otot sangat meningkat, oksidasi asam laktat dan perubahannya menjadi glikogen tidak seimbang dengan pembentukan asam laktat.
  • Setelah otot berhenti berkontraksi, oksidasi asam laktat yang banyak tertimbun masih terus berlangsung meskipun kontraksi otot telah selesai.
  • Dengan perkataan lain, selama aktivitas otot sangat meningkat otot seolah-olah berhutang oksigen.
  • Hutang oksigen ini dikembalikan pada masa pemulihan
  • Selama kontraksi otot terjadi perubahan panas.
  • Dari seluruh energi yang digunakan untuk kontraksi, hanya kurang lebih 20% sajalah digunakan untuk melakukan kerja, selebihnya hilang dalam bentuk panas.
  • Jadi otot dapat dikatakan tidak 100% efisien.
  • Namun demikian panas yang timbul dapat digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh. Pada hawa dingin, produksi panas dapat ditingkatkan dengan jalan pergerakan otot.
  • Perlu diulang disini bahwa pada semua makhluk hidup, energi selalu dibutuhkan untuk melakukan bermacam-macam proses hidup.
  • Sebagian dari energi tampak sebagai panas, bahkan pada otot yang tidak berkontraksi pun (otot dalam keadaan agak istirahat), panas selalu timbul
  • Panas ini disebut panas istirahat. Selama otot berkontraksi panas yang timbul melebihi panas istirahat. Panas yang melebihi panas istirahat ini disebut Panas Awal (initial heath).
  • Panas awal ini dibedakan menjadi panas aktivasi dan pemeliharaan, panas pemendekan dan panas relaksasi.
  • Baik pada kontraksi isotonik maupun kontraksi isometrik, selalu ada panas aktivasi dan pemeliharaan, karena energi selalu digunakan untuk kontraksi.
  • Bila otot tidak memendek, panas pemendekan tidak ada. Panas pemendekan mungkin dibutuhkan untuk kerja dari jembatan silang (cross-bridge) pada proses pemendekan.
  • Bila otot melakukan kerja (mengangkat beban), segera setelah kontraksi otot berakhir dan relaksasi dimulai, tampak bahwa beban akan menyebabkan otot memanjang.
  • Energi tidak diperlukan selama otot dalam keadaan relaksasi.
  • Panas relaksasi berasal dari energi yang disimpan selama otot berkontraksi.
  • Akhirnya, ada panas pemulihan yang disebabkan karena adanya energi yang digunakan oleh reaksi kimia untuk resintesis
  • Ada 2 macam panas produksi yaitu panas awal yang dilepas selama proses kontraksi dan panas pemulihan yang terjadi setelah proses kontraksi selesai.
  • Panas awal terdiri dari
  1. panas aktivasi
  2. panas pemendekan
  3. panas relaksasi
  4. panas pemulihan
  1. panas aktivasi dan pemeliharaan yang merupakan panas yang dilepas dari suatu proses kimia yang mengubah otot dari keadaan istirahat menjadi keadaan aktif. Panas ini timbul baik pada otot yang memendek (kontraksi isotonik) atau otot yang tidak memendek (kontraksi isometrik);
  2. panas pemendekan yang merupakan panas yang timbul karena adanya pemendekan. Bila otot tidak memendek, panas pemendekan juga tidak timbul. Ini mungkin ditimbulkan karena meningkatnya liberasi energi oleh jembatan silang pada waktu terjadi pergeseran terhadap miosin;
  3. panas relaksasi yang timbul karena liberasi energi potensial otot, bila otot dalam keadaan relaksasi. Ini tidak merupakan proses kimia, tetapi hanya sekedar perubahan fisika dari energi potensial yang tersimpan, pada waktu otot memendek berubah menjadi panas selama fase relaksasi,
  4. panas pemulihan yang merupakan panas yang dilepas oleh proses kimia (resintesis ATP). Kurang lebih 9/10 dari panas ini berasal dari proses metabolisme anaerob (Wulangi, 1994).

Perubahan Elektrik
  • Bila otot berkontraksi, terjadilah perubahan Elektrik.
  • Perubahan Elektrik ini dapat dideteksi oleh instrumen yang khusus untuk itu. Otot mempunyai kelakuan seperti baterei, bila otot tersebut berkontraksi.
  • Otot yang berkontraksi akan menimbulkan suatu arus yang biasa dikenal dengan nama arus aksi.
  • Arus aksi ini akan mengalir dari daerah positif ke daerah negatif.
  • Daerah yang aktif adalah relatif lebih negatif dibandingkan dengan daerah yang tidak aktif.
  • Bila otot dalam keadaan istirahat, tidak ada arus yang timbul.
  • Arus aksi yang timbul pada jantung yang berdenyut dapat dicatat oleh alat yang disebut elektrokardiograf